Cari Blog Ini

Kamis, 07 Desember 2017

Freak Day

Cekrekk....!!
Entah sudah foto keberapa yang diambil oleh gadis ini lewat kamera polaroid landscapenya.
Setiap sisi pemandangan yang ia lihat seolah selalu menarik minatnya untuk di abadikan dalam sebuah foto. Sesaat foto diambil, sebuah kertas film secara perlahan keluar dari kameranya. Jari lentiknya mengambil kertas film itu dan mengibaskannya beberapa kali hingga membuat foto yang baru saja ia potret tercetak jelas disana. Seulas senyum juga tercetak dibibir mungilnya.

"Thita.....ngapain disitu?!" Seseorang meneriakinya dari kejauhan sambil melambaikan tangan agar Thita menghampirinya.

Thita hanya tersenyum menanggapi dan kembali membalikkan badannya menikmati keindahan ciptaan Tuhan dari puncak Rinjani. Kawasan puncak Rinjani, tak ramai seperti biasanya mungkin karena ini bukan hari libur. Entahlah, yang pasti Thita menikmati kesunyian yang ada disini.
Ia bentangkan kedua tangannya sambil menutup mata dan menghela nafas panjang, menghirup udara segar khas pegunungan yang mustahil ia temui jika dikota.

Gadis manis berambut panjang, hitam pekat ini kembali membuka matanya dan tersenyum mengagumi setiap jengkal keindahan yang tercipta dibumi nusantara. Birunya air dari danau segara anak tampak begitu jelas terlihat dari tempatnya berdiri sekarang, membuat kedua mata coklat mudanya tak berkedip.

Ia kembali mengarahkan fokus kameranya pada arah danau dan memotretnya lagi dan lagi. Thita memang mencintai fotografi sejak ia masih kecil, tapi uniknya disaat orang - orang memotret dengan kamera digital, dia malah lebih suka memotret dengan kamera polaroid, alasannya simple ia ingin agar foto hasil jepretannya menjadi satu - satunya dimuka bumi.

Thita menemukan hal yang tak biasa, saat kedua matanya asyik menjelajah sekitar daerah pegunungan. Seorang cowok yang tengah asyik memotret yang berada tak begitu jauh darinya memancing rasa penasarannya.
Ia menyipitkan kedua matanya, berusaha mencari tahu seperti apa sosok yang menarik perhatiannya kini. Tapi percuma, ia tak bisa melihat wajahnya, karena kamera terus saja menempel di wajah itu yang entah kenapa Thita yakini, Tampan. Ralat, sangat tampan.

Thita kembali meraih kamera yang menggantung dilehernya, dan mengarahkan fokus kameranya pada pria yang mengenakan hoodie berwarna navy itu.

Dan...... cekrekk!!

Ia berhasil mengabadikan foto cowok karismatik itu.
Thita kembali mengamati foto yang tercetak di kertas filmnya dan mulai memberi penilaian.

Tubuhnya tampak proporsional dengan tinggi badan yang Thita perkirakan sekitar 185 cm, cukup Tinggi untuk ukuran cowok Indonesia. Tidak gemuk, tidak juga kurus, pas. Thita juga bisa melihat otot bisep dibagian lengannya, kelihatan kuat dan kokoh. Kulitnya putih dan...sepertinya Thita mulai mengaguminya.

Aneh, Thita tak pernah merasa seperti ini sebelumnya apalagi ia belum melihat wajah cowok itu sama sekali, entah Thita yang agak berlebihan atau memang daya pikat dan karisma cowok yang menjadi konsentrasinya sekarang begitu kuat, hingga sukses menarik perhatian Thita hanya dalam satu kali tatapan.

Tiba - tiba saja Ghea, sahabatnya datang dan mengagetkan Thita, bukan hanya itu tangannya juga begitu cepat merebut foto yang tadi berada ditangan Thita.

" Eh siapa nih?? Keliatannya cakep,”komentar Ghea pada foto yang dilihatnya.

Ya dia memang cakep Ghe, tapi lo ngga boleh suka sama dia. Batin Thita sebal.

" Bukan siapa - siapa, sini balikin,”sungut Thita dengan tangan yang berusaha merebut foto itu kembali, tapi gagal karena Ghea menghindar dan menyembunyikan tangannya kebelakang, membuat Thita semakin mengerucutkan bibirnya, kesal.

" Eitss......jawab dulu,”pinta Ghea berusaha menggoda sahabatnya yang tampak malu - malu karena tertangkap basah sedang mengagumi seseorang.

Ghea hafal betul kalau Thita bukan tipe cewek yang hatinya bisa luluh dengan begitu cepat menghadapi makhluk yang bernama COWOK. Dan jika itu terjadi, berarti cowok tersebut benar - benar punya daya tarik yang kuat.

" Ghe, jangan bikin gue naik darah deh. Balikin nggak,”pinta Thita kali ini dengan memamerkan raut wajah marah.

" Nggak mau,”tolak Ghea dengan semringah, yang tak memperdulikan perubahan ekspresi yang ditunjukkan Thita.

Ghea berlari menjauh meninggalkan Thita dengan foto yang ia lambaikan keatas berusaha memancing Thita agar mengejarnya jika Thita mau foto itu kembali.

" Ghe...balikin,”pinta Thita tegas dan akhirnya terpancing untuk menyusul Ghea.

Seperti dua orang anak TK yang saling berebut mainan, keduanya kini saling kejar - kejaran di kawasan puncak Rinjani, jelas bukan lokasi yang tepat untuk berlarian layaknya kucing nguber tikus buruan. Terlalu berbahaya. Hingga tiba - tiba...

Brukk!!

Thita menabrak seseorang yang entah sejak kapan berdiri dipinggir jurang. Tidak. Tepatnya kenapa Thita harus berlari ke arahnya dan malah menabraknya.

Beruntung cowok karismatik itu punya kaki yang kuat hingga sanggup menopang tubuhnya agar tidak terpleset kejurang.

" So....sorry, gue nggak sengaja. Lo nggak apa - apakan?"Thita panik, reflek ia memutar badan cowok tadi untuk memastikan jika keadaannya baik - baik saja.

Dan, Ghea jangan ditanya lagi. Ia telah berlari semakin menjauh dari Thita, tanpa sadar jika sahabatnya sebentar lagi akan dapat masalah.

" Gue nggak apa – apa,”jawabya dengan penekanan pada setiap kata - katanya. Terdengar penuh amarah.

Perlahan Thita mendongakkan wajahnya, memberanikan melihat wajah cowok yang memang lebih tinggi darinya ini.

Dan, voiilaaa...

Dia tampan, Ralat sangat tampan
Hidungnya mancung, Alisnya yang tebal, rahangnya yang tegas, mata coklat mudanya yang tajam, tampak setajam mata elang yang ingin menerkam mangsanya.

Ya Tuhan, betapa sempurnanya ciptaanMu. Batin Thita terpesona dengan sosok yang ada dihadapannya kini.

" He-em,"cowok yang mengenakan hoodie navy ini berdehem satu kali, menyadarkan Thita dari lamunannya.

" Sekali lagi maaf ya,”sesal Thita kembali menundukkan wajahnya, ia tak tahan melihat tatapan yang terlihat ingin mencabik - cabik tubuhnya karena tadi nyaris saja menghilangkan nyawa seorang pria yang tak ia kenal.

" Maaf lo bilang?”tanyanya sinis sambil meraih kamera analog yang tergeletak persis di bibir jurang,” Apa kata maaf lo bisa memperbaiki ini?” tanyanya lagi sambil mengangkat kameranya tepat didepan wajah Echa membuat mata indah itu mengerjap beberapa kali.

Thita meneguk salivanya dengan susah payah, tatapannya fokus memandangi kamera dengan lensa yang telah retak di setiap bagian.

" Harusnya lo bersyukur, bukan tulang lo yang retak karena jatuh ke jurang?" celetuk Thita seenaknya dan kini tanpa merasa bersalah sedikitpun.

" Bersyukur?"tanyanya lagi dengan muka merah padam menahan amarah.

" Lo udah buat gue kehilangan kenangan terakhir dari nyokab gue. Dan lo bilang gue harus bersyukur?!Ckck....cewek aneh!"dengusnya dengan tatapan membunuh, membuat Thita gamang.

Bahkan saat cowok karismatik itu menatap prihatin kameranya, Thita tak memperdulikannya. Ia masih membeku disana, memikirkan kata - kata yang terlontar dari mulut cowok yang sejak tatapan pertama berhasil membuat Thita mengaguminya.

“ Gu…gue bakal perbaiki kesalahan gue.”
Tanpa permisi, tangan Thita terulur merebut kamera analog itu hingga membuat si empunya melotot kaget. “ Gue bakal benarin kamera lo, Gimanapun caranya,”janji Thita tampak sungguh – sungguh.

“ Nggak perlu,”ketusnya lagi dengan tatapan super dingin, seakan ingin membekukan siapapun yang ada di hadapannya. Tangan kokohnya kembali merebut kamera itu dari tanhan Echa.

“ Perlu,”ucap Thita tak kalah emosinya dan kembali merebut kamera itu.

“ Nggak!”

“ Ih…gue bilang perlu. Ya...perlu.”

“ Sekali nggak tetap nggak.”

Terjadilah perebutan dan saling lempar ucapan ketus di antara keduanya. Keduanya sama – sama tidak mau mengalah. Hingga satu insiden terjadi dan sukses membuat keduanya terbengong. Kamera analog itu terlempar hingga ke dasar jurang.

“ Kameranya,”gumam keduanya kompak dengan pandangan lurus ke arah jurang yang telah menelan kamera yang mereka perebutkan.

Tebing yang cukup curam dan medan yang terlalu berbahaya membuat kamera yang kecil itu semakin tak terlihat oleh pandangan keduanya. Selain itu kecil kemungkinan unuk menyelamatkan apalagi memperbaiki kamera antik itu.

Echa menatap ngeri cowok yang ada di sampingnya, selain merasa bersalah ia juga takut melihat wajah tampan itu yang tampak merah padam. Rahang tegasnya mengeras, dan lebih menyeramkan lagi cowok itu kini menatapnya dengan tatapan bengis. Terlihat jelas ia sedang berada di puncak kemarahannya sekarang.

Mati gue.

Echa ketakutan, bahkan ia sampai memejamkan matanya agar tidak bertemu tatap dengan mata setajam elang itu. Terlalu mengerikan.

Hening kini menguasai, saking heningnya Thita bahkan tak bisa mendengar hembusan nafas berat dari cowok karismatik itu lagi. Perlahan ia membuka kedua matanya, di luar dugaan cowok itu telah beranjak pergi meninggalkan Thita.

Thita menghela nafas lega sambil terus memandangi punggung tegap lelaki itu yang kian menjauh dari pandangannya. Tadinya Thita sempat berpikir, hidupnya akan berakhir hari ini lantaran di dorong dari atas jurang hanya karena sebuah kamera. Ah…syukurlah itu tidak terjadi.

Bicara soal kamera, Thita kembali mengalihkan pandangannya ke dasar jurang. Sungguh…perasaan bersalah semakin menghantuinya. Apalagi ia yakin, itu adalah kenangan paling berharga yang di miliki lelaki itu. Ia harus menebus perasaan bersalahnya dengan cara apapun.  Harus.

📷  📷  📷